Gagasan dosen Universitas Nahdlatul Ulama Sidoarjo

TELADAN NABI MEMBANGUN NEGERI DAMAI

Oleh: Sholehuddin* sekretaris BPP UNUSIDA

Hari ini (17/8) bangsa Indonesia bertahniah (merayakan) Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-77. Bagi umat Islam sangat istimewa karena beriringan dengan tahun baru Islam 1444 H. Tentu ini berkah tidak saja untuk umat tertentu, tapi juga seluruh bangsa yang majemuk ini.

Di usia yang 77 tahun ini seiring gencarnya arus informasi melalui tranformasi digital yang tak terbendung, bangsa kita menghadapi tantangan kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara. Dalam kehidupan beragama kita mengalami ‘kemunduran’ dalam memahami perbedaan. Makin marak adanya klaim kebenaran dan menyalahkan pihak yang berbeda. Sementara agama mengajarkan, secara internal ada prinsip “lana a’maluna wa lakum a’malukum” di sisi lain secara eksternal “lakum dinukum waliya din”.

Dalam hal berbangsa dan bernegara, sebagian di antara kita belum bisa menghormati sesama, termasuk menghormati pemimpinnya. Kekurangan pasti ada, tetapi tidak sepatutnya simbol negara direndahkan. Padahal, jangankan simbol negara, sesama manusia saja apa lagi sesama bangsa harus saling menghargai dan menghormati. Tidak boleh saling membenci. Sebab, satu kebencian akan menutupi seribu kebaikan.

Dalam bernegara kita dihadapkan dengan tantangan penegakan supremasi hukum dan keadilan. Kasus penembakan yang melibatkan oknum sesama aparat yang menghebohkan jagat maya menjadi pelajaran penting. Sebab, jika hal ini berlarut, maka tingkat kepercayaan masyarakat kepada aparat akan hilang dan itu berbahaya dalam sistem ketahanan negara. Banyak negara konflik dipicu dari ketidak percayaan pada aparat negara.

Seiring dengan memasuki tahun baru Islam 1444 H, ada pesan menjadikan hijrah Nabi sebagai spirit perjuangan mengisi kemerdekaan. Dua momentum ini beririsan antara agama dan negara, negara dan agama. Kemerdekaan pasca reformasi dan pandemi ini memunculkan tema HUT Kemerdekaan ke 77 yakni “Pulih lebih cepat bangkit lebih kuat”.

Menurut M. Salabi, Nabi membangun negara Madinah menjadi negeri yang damai. Ada empat tonggak sejarah dalam menciptakan negara yang damai penuh peradaban. Pertama, membangun masjid. Ini menjadi simbol ketakwaan dan ketaatan. Allah berfirman, bahwa jika penduduk suatu negeri beriman dan bertaqwa maka dibukakan pintu berkah dari langit dan bumi. Jika mendustakan, Allah mencabut karena ulah mereka.

Kedua, menyatukan dua komunitas muslim, kaum ansor dan muhajirin. Kaum ansor adalah penduduk asli, sedangkan muhajirin merupakan pendatang. Saat ini masyarakat Indonesia mengalami pergeseran dari pedesaan menjadi perkotaan atau yang lebih dikenal masyarakat urban. Mereka ini biasanya realistis. Dalil atau data menjadi penting. Meski demikian, egosentris menjadi penghalang, karena egosentris akan menutupi kebenaran dan fakta.

Menghadapi problem ini, nabi mengajarkan bahwa sesana mukmin itu seperti bangunan. Harus saling menguatkan, bukan saling menjatuhkan. Jika ingin berbuat sesuatu apapun kepada,orang lain bayangkan jika hal itu menimpa diri sendiri. Dan, sekecil apapun kebaikan Allah pasti melihatnya dan sebaliknya.

Ketiga, membuat perjanjian damai dengan dua agama besar selain Islam yaitu Yahudi dan Nasrani. Inilah diaebut dengan Piagam Madinah (Madinah Charter). Perjanjian ini mengukuhkan Madinah menjadi negara berdasarkan kesepakatan. Dalam konteks Indonesia, bangsa Indonesia sudah memiliki dasar Pancasila sebagai kesepakatan para pendiri bangsa. Pancasila sekaligus menjadi Titik Temu (Kalimatun Sawa’) untuk menjembatani berbagai agama.

Keempat, membangun tata kelola ekonomi, politik dan budaya berdasarkan nilai-nilai agama yang universal, seperti keadilan dan tolong menolong. Keadilan harus menjadi panglima kebenaran.
Hukum tidak pandang bulu. Maka, tantangan ke depan adalah meneguhkan kembali keadilan dalam kehidupan masyarakat.

Begitu pula tolong menolong dalam falsafah bangsa dan jati diri bangsa sudah ada gotong royong. Tinggal penguatan- penguatan melalui jalur pendidikan dan kemasyarakatan. Saat ini sedang gencar Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) dalam kurikulum merdeka dan Penguatan Moderasi Beragama (PMB) menjadi salah satu prioritas pembangunan. Tentu ini menjadi modalitas penting dalam rangka memulihkan dan membangkitkan semangat menuju negeri yang damai (darus salam) sebagaimana dicontohkan Nabi Saw. Dirgahayu Kemerdekaan RI ke 77 tahun 2022.

*Dr. H. Sholehuddin, M.Pd.I, adalah Widyaiswara Balai Diklat Keagamaan Surabaya dan Ketua ISNU Sidoarjo. Saat ini mendapatkan tugas sebagai IN PMB.

Sumber: https://www.sholehuddinur.com/opini/1492/hari-ini-17-8-bangsa-indonesia-bertahniah-merayakan-hari-ulang-tahun-hut-kemerdekaan-republik-indonesia-yang-ke-77/.html[/vc_column_text][/vc_column][/vc_row]

Perempuan Pesisir – Rainh De Jepara

[vc_row][vc_column][vc_column_text]Badruzzaman, Ketua Badan Kemaritiman PCNU Sidoarjo

Waktu di sekolah dasar, pernakah mendapat tugas menggambar pantai Dan lautan dengan nelayannya?

Biasanya ( paling tidak saya sendiri) gambaran kehidupan nelayan kerap diasumsikan sebagai laki-laki, seakan-akan nelayan adalah pekerjaan yang dikhususkan untuk laki-laki saja. Padahal, kenyataannya tidak demikian.

Menurut FAO – Organisasi Pangan dan Pertanian PBB, perempuan merupakan satu dari dua pekerja di sektor makanan laut di seluruh dunia. Perempuan mendominasi kegiatan pasca panen seperti pengolahan dan pemasaran ikan. Di Indonesia sendiri, 50 persen perempuan terlibat sebagai nelayan dan/atau pekerjaan di sektor perikanan lainnya.

Besar sekali, Kontribusi perempuan di sector perikanan bukan? Tapi labelling atau stereotype , “Nelayan” Ada lah laki laki.

Perempuan umumnya hanya dipandang sebagai istri nelayan, atau terlibat dalam kegiatan menangkap ikan sebagai bagian dari tugas rumah tangga mereka, tanpa dibayar.

Akibatnya, laki-laki cenderung terlibat dalam kegiatan rantai nilai kelas atas seperti penangkapan ikan, pengangkutan, distribusi dan perdagangan perantara, sementara perempuan memegang peran dalam rantai nilai kelas bawah, seperti penilaian, pemilahan, dan penjualan ikan di pasar.

Tanpa rekognisi atas status mereka sebagai “nelayan, pembudidaya, petani ” perempuan, tidak memiliki hak hukum dan kesulitan mendapatkan dukungan dari pemerintah.

Absennya pengakuan bagi perempuan sebagai salah satu pemain utama di sektor perikanan menciptakan kesenjangan bagi kaum perempuan dalam berpartisipasi dan mengakses peluang ekonomi.

Kegagalan untuk mengakui peran perempuan di “blue economy” Ato sektor perikanan ini tidak hanya menghalangi perempuan untuk mengakses atau memenuhi syarat untuk mendapatkan manfaat perlindungan sosial yang ditawarkan oleh pemerintah , tetapi juga menghambat kontribusi penting perempuan terkait ketahanan pangan dan mata pencaharian, pemulihan global dari krisis pasca pandemi covid ini, serta partisipasi perempuan dalam menjaga ekosistem kemaritiman itu sendiri.

Pengakuan Dan pelibatan perempuan dalam “blue economy – pemanfaatan sumber daya laut yang berwawasan lingkungan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan, dan mata pencaharian sekaligus pelestarian ekosistem laut” Adalah “rekognisi” Dimana 1. Perempuan adalah actor utama nya, 2. Kontribusi partisipasi perempuan mempercepat pengentasan kemiskinan, 3. Partisipasi perempuan meningkatkan kapasitas pengelolaan ekosistem kemaritiman yg berkelanjutan.

Selamat Hari Kartini!!!

Di jepara, 3 abad sebelum Kartini lahir, Ada sosok perempuan hebat, yang “viral” disebut dengan nama ratu kalinyamat.

Pada buku Suma Oriental yang ditulis oleh penulis asal Portugis, Tome Pires, dijelaskan jika Jepara baru dikenal pada abad ke-15 atau sekitar 1470 masehi.

Jepara dikenal sebagai kawasan bandar perdagangan kecil di bawah pemeritahan Kerajaan Demak yang dihuni sekitar 100 orang dan dipimpin Aryo Timur.

Ratu Kalinyamat dinobatkan menduduki puncak tahta pada 10 April 1549, bertepatan dengan candra sengkala Trus (Karya Titaning Bumi).

Ratu Kalinyamat merupakan keturunan Brawijaya V, raja terakhir Majapahit dari Raden Patah (Raja Demak pertama). Ayahnya sang Sultan Trenggana, adalah anak dari Raden Patah yang juga Sultan Demak III (1505-1521).

Di masa Ratu Kalinyamat, Jepara menjadi negeri yang makmur, kuat dan mashur. Bahkan, Ratu Kalinyamat berhasil membangun kedaulatan keamanan dan mampu membangun aliansi strategis untuk mengatasi ancaman kolonial. Supremasi peradaban maritim pasca majapahit diwujudkan oleh nya.

Sejarah mencatat, pada tahun 1550 Kalinyamat mengirim 4.000 tentara Jepara dalam 40 kapal memenuhi permintaan Sultan Johor untuk membebaskan Malaka dari kekuasaan bangsa Eropa itu. Kalinyamat tak pernah jera meski serangan pertama itu belum mampu mengusir Portugis dari bumi Nusantara.

Pada tahun 1565 ia kembali mengirim pasukannya, memenuhi permintaan orang-orang Hitu di Ambon untuk menghadapi gangguan bangsa Portugis dan kaum Hative.

Kendati dua kali mengalami kekalahan, Ratu Kalinyamat telah menunjukkan bahwa dirinya seorang wanita yang gagah berani. Bahkan Portugis mencatatnya sebagai rainha de Japara, senhora poderosa e rica, de kranige Dame, yang berarti “Ratu Jepara seorang wanita yang kaya dan berkuasa, seorang perempuan pemberani”.

Selamat hari Kartini!!!

Membaca dari Jepara kita wujudkan ” Poros maritim Dunia”,

* disarikan dari berbagai sumber.[/vc_column_text][/vc_column][/vc_row]

Ibu Milenial Ibu Pembelajar

[vc_row][vc_column][vc_column_text]Ana Christanti, M.Pd. – Ketua Program Studi (Kaprodi) Pendidikan Bahasa Inggris

“Wanita hebat lahir di bulan Desember”, kalimat itu pernah saya baca di promosi online sebuah produk kaos untuk perempuan. Bagi perempuan yang lahir di bulan lain mungkin akan mencibir karena menganggap kalimat itu “lebay”. Tapi kalimat tersebut bisa bisa bermakna lain apabila diasosiasikan dengan sejarah kongres perempuan pertama yang diadakan pada tanggal 22-25 Desember 1928 yang menjadi tonggak sejarah bangkitnya para ibu Indonesia dalam membangun bangsa. Jadi bulan Desember identik dengan perempuan hebat karena sejak peristiwa kongres itu peran seorang ibu dalam keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara selalu diingatkan kembali dalam peringatan Hari Ibu Nasional.

Di tahun ini, tema Hari Ibu Nasional adalah “Perempuan Berdaya, Indonesia Tangguh”. Perempuan berdaya adalah perempuan yang memiliki kekuatan dan tangguh untuk melakukan hal-hal positif. Seorang ibu adalah stabilisator keluarga yang dengan kasih sayang dan tutur kata baik dapat melembutkan hati anak-anaknya. Namun adakalanya seorang ibu juga mampu menjadi seorang yang kuat untuk membantu menopang ekonomi keluarganya. Peringatan hari ibu adalah bentuk penghargaan bagi semua perempuan Indonesia yang sudah berkarya untuk keluarga dan bangsa.

Sebagai sosok yang sangat berperan bagi kelangsungan hidup umat manusia, ibu, menurut umat muslim, mempunyai derajat tiga kali diatas eksistensi seorang ayah. Sosok ibu terkadang mampu menggantikan peran ayah tapi sulit tergantikan oleh sang ayah. Ibu adalah sentral dari pondasi dasar sebuah keluarga yang merupakan awal dari kehidupan generasi selanjutnya. Sehingga, di masa milenial ini, seorang ibu mesti punya bekal dan harus lebih siap dibandingkan anak-anaknya supaya mampu menuntut mereka melewati masanya.

Ibu – ibu jaman now mempunyai tantangan yang berat dalam melaksanakan perannya. Perubahan jaman dan pergeseran nilai budaya menuntut seorang ibu lebih cerdas mencermati perkembangan anak-anaknya. Pola asuh otoriter yang sering diterapkan ibu jaman dulu sudah tidak bisa menjadi satu-satunya cara di masa kini. Ibu, sebagai guru pertama bagi anak, harus dapat menerapkan pola asuh sesuai dengan situasi dan kondisi perilaku anak. Disinilah seorang ibu dituntut untuk menjadi pintar dalam mendidik anak.

Kebutuhan pendidikan anak di era milenial menuntut seorang ibu untuk mempunyai ilmu. Anggapan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi karena nanti tempatnya juga di dapur dan momong anak sudah tidak berlaku lagi. Membesarkan anak-anak tidak cukup hanya menemani, tapi juga butuh ilmu untuk mendidik dan mengarahkan mereka menjadi generasi berkualitas. Rendahnya pengetahuan seorang ibu dapat menyebabkan permasalahan bagi anak, baik masalah kesehatan maupun pendidikannya.

Seorang perempuan yang pintar tidak hanya ditentukan oleh jenjang pendidikan saja, tapi lebih kepada semangat untuk selalu belajar dan mengembangkan diri sesuai keahliannya. Seorang ibu diharapkan memiliki beberapa kriteria ideal seperti mempunyai pengetahuan agama yang kuat dan memadai untuk diajarkan kepada anak-anaknya, memiliki konsep diri yang utuh, bertanggung jawab, bijak tentang media, dan pembelajar yang tiada henti. Perempuan Indonesia harus menjadi ibu yang dapat diandalkan oleh anak-anaknya.

Kemudahan mendapatkan informasi di abad ini dapat dimanfaatkan oleh para ibu untuk terus mengasah kemampuan diri. Jangan ada lagi kata-kata “Aku gak faham pelajaran anak sekarang”, “Ibu gak bisa membantu mengerjakan PR”, atau “Aduuh, ibu gak ngerti soal itu, nak”. Ketika anak datang untuk meminta bantuan ibunya, di saat itulah seorang ibu harus menunjukkan bahwa dia bisa diandalkan. Tidak ada kata susah apabila ibu-ibu mau meluangkan waktu untuk menggali informasi dari berbagai sumber di internet. Jangan kecewakan anak dengan kata “tidak bisa” karena itu akan melemahkan semangat mereka dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Ajaklah anak untuk berjuang bersama dan bekerjasama menyelesaikan tugas-tugas sekolah supaya tercipta bounding attachment antara ibu dan anak. Jadikan anak-anak bangga mempunyai ibu seorang “superhero” bagi mereka.

Peran ibu juga jangan sampai dikalahkan oleh benda kotak pipih bernama Gadget. Ibu harus bisa mengendalikan anak-anaknya dalam menggunakan teknologi informasi. Peran ibu sebagai pelindung anak-anaknya tetap melekat dari jaman ke jaman. Ibu milenial memang tidak boleh buta akan teknologi supaya bisa dekat dengan hati sang anak, tetapi juga perlu mencari strategi komunikasi dengan anak yang hari-harinya tidak lepas dari gadget. Disinilah kombinasi pola asuh otoriter, demokratis, dan permisif perlu diterapkan sesuai kebutuhan pendidikan anak. Pada saat harus mendisiplinkan anak, pola otoriter masih diperlukan. Sedangkan untuk mendekati sang anak, pola demokratis dan permisif dapat dikombinasikan supaya tidak ada jarak antara ibu dan anak. Keterbukaan komunikasi akan meminimalisir permasalahan kenakalan pada anak-anak dan remaja.

Ibu milenial yang sibuk bekerja diluar rumah akan mempunyai tantangan lebih besar dalam memainkan perannya. Ketika tanggung jawab menjaga dan mengurus anak dilimpahkan kepada orang lain, ibu harus dapat mengganti dengan quality time lainnya supaya ikatan kasih sayang ibu dan anak tidak hilang karena kesibukan diluar rumah. Dibutuhkan usaha yang lebih keras dan strategi yang cerdas bagi ibu-ibu karir untuk mendampingi tumbuh kembang ananda. Disini kecerdasan seorang ibu sangat dibutuhkan untuk mengatur ritme pengasuhan anak.

Tidak bisa disangkal lagi bahwa perempuan harus pintar atau punya pengetahuan yang berkaitan dengan tugas dan tanggung jawabnya sebagai istri dan ibu. Dari seorang ibu yang pintar akan lahir generasi penerus bangsa yang berkualitas. Untuk itu perempuan berdaya perlu terus diupayakan untuk memajukan generasi bangsa Indonesia. Karena ada ungkapan yang menyatakan bahwa “jika ingin membangun sebuah bangsa, maka didik kaum perempuannya. Dan sebaliknya, jika ingin menghancurkan sebuah bangsa, maka rusak pola pendidikan dan metal perempuan yang akan menjadi ibu-ibu bangsa tersebut.” Selamat Hari Ibu Nasional, ayo menjadi ibu-ibu pembelajar![/vc_column_text][/vc_column][/vc_row]

Selamat Hari Santri dan Mahasantri

Shinta Novitasari

Mendapati makna Hari Santri tahun ini yakni Santri Siaga Jiwa Raga sempat terbesit kebingungan dalam pikiran. Pasalnya, tema itu lebih cocok digunakan untuk suasana atau kondisi peperangan atau kegentingan.

Namun, usai membaca makna sebenarnya yang dilansir dari berbagai pemberitaan ternyata tidak seperti yang saya perkirakan. Ada makna mendalam yang disematkan kepada santri dari tema tersebut.

Dari prespektif perguruan tinggi NU yang mahasiswanya dianalogikan sebagai mahasantri diperlukan penegasan paradigma, karena mahasantri dituntut tidak hanya akhlak mulia tetapi juga ada tuntutan berfikir ilmiah, logis, dan mengedepankan proses pembuktian yang masuk akal berupa riset.

Mahasantri dari pondok pesantren salaf yang belum sempat melakukan penelitian, butuh effort serius karena sebelumnya sumber keilmuan terpusat dari guru, ustad, dan kiai. Beda dengan pesantren modern atau salaf modern yang memiliki program karya ilmiah yang terstandar nasional dan internasional.

Jika Siaga Jiwa dimaknai dengan kesiapan secara akhlak, maka mahasantri menitikberatkan akhlak mengahadapi globalisasi. Siaga Raga pun sama, pemikiran dan tindakan dapat berkolaborasi bahkan siap bersaing dengan para globalis, sekuleris, kapitalis, dan kaum-kaum lain yang bertentangan dengan kultur santri.

Embel-embel Santri menjadi landasan jiwa dan raga dalam menyikapi mereka. Pasalnya, negeri ini terbentuk dari kultur dan jiwa raga para santri yang mendedikasikan diri tanpa pujian atau pengakuan.

Santri dan Mahasantri saat ini fokus menyongsong 1 abad NU. Karena itu ada program bagi Mahasantri untuk  menempuh pendidikan hingga Strata 3. Tak sedikit pula yang menempuh pendidikan di luar negeri dengan berbagai macam kompetensi dengan standarisasi global.

Hari Santri dengan berbagai macam tema menjadi moment untuk mendorong dan menyemangati santri dan mahasantri berkiprah dalam berbagai hal. Ada ungkapan dari Lesbumi NU Sidoarjo yakni Mewarnai Dakwah Islam Nusantara yang berarti ada banyak warna dalam menerapkan Ahlussunnah wal Jamaah Annahdliyah di Nusantara.

Warna-warna itu merupakan potensi dan kompetensi yang juga jadi strategi mempertahankan bahkan mengembalikan kultur yang sempat terdisrupsi. Kultur yang semakin terancam menuju keterhapusan oleh perkembangan zaman dan teknologi.

Dalam teori siklus yang dilansir dari buku Pengantar Ringkas Sosiologi (2020) karya Elly M. Setiadi yang menggambarkan bahwa perubahan sosial bagaikan roda yang sedang berputar. Artinya, perputaran zaman tak dapat dielakkan.

Jika masyarakat mampu merespon tantangan kehidupan dan mampu menyesuaikan diri maka masyarakat itu mengalami perkembangan dan kemajuan. Dan bisa juga sebaliknya.

Para santri telah mengalami berbagai macam pergolakan. Pra perjuangan, proses perjuangan, dan pasca perjuangan yang dilewati dengan selalu menjaga karakter dan jati diri santri.

Saat ini, santri tak cukup dilabeli dengan nama Santri saja. Pasalnya, mereka bertransformasi dan meng-upgrade dirinya dengan label mahasantri, karena memiliki kemampuan lebih dari kemampuan santri biasa. Dengan mulai berkultur riset yang mengarah pada kemandirian ekonomi dengan nama riset preneur namun tetap memiliki spirit religius.

Komunitas Dorong Keinginan Berkuliah

Mega Firdaus

Pendidikan tinggi berperan untuk mengakselerasi kualitas kehidupan negara, bangsa, dan masyarakat. Institusi pendidikan tinggi menjalankan misi Tridharma Pendidikan Tinggi yang meliputi penelitian, pendidikan, dan pengabdian kepada masyarakat untuk mencapai tujuan pendidikan. Eksistensi pendidikan tinggi diharapkan dapat mengembangkan potensi mahasiswa menjadi manusia yang berilmu, kreatif, mandiri, terampil, kompeten, dan dapat menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.

Propinsi Jawa Timur memberikan kontribusi signifikan pada Produk Domestik Bruto (PDB) nasional yaitu 14,92% dari PDB Nasional. Tetapi propinsi Jawa Timur menghadapi permasalahan dalam bidang pendidikan. Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa menyampaikan bahwa ada masalah rendahnya jumlah peserta didik Jawa Timur yang meneruskan studi dari strata menengah atas ke strata pendidikan tinggi.

Hanya sekitar 20 persen lulusan SMK dan 32,3 persen lulusan SMA yang meneruskan studi ke jenjang pendidikan tinggi. Angka Partisipasi Kasar (APK) Pendidikan Tinggi di Jawa Timur pada tahun 2020 sebesar 29,52 persen.

Rendahnya APK pendidikan tinggi di Propinsi Jawa Timur berimplikasi merugikan daerah dan kerugian secara nasional. Karena berimplikasi terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Propinsi Jawa Timur yang berada pada peringkat ke-15 dari 32 propinsi di Indonesia.

Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Daerah telah melakukan beberapa upaya kebijakan, program, dan fasilitas untuk meningkatkan APK pendidikan tinggi di nusantara termasuk di Provinsi Jawa Timur. Namun, upaya pemerintah tersebut dianggap kurang berhasil dalam meningkatkan APK perguruan tinggi.

Siswa Indonesia Ayo Pergi Kuliah atau disingkat dengan SIAP KULIAH merupakan gerakan perubahan sosial berbasis komunitas untuk mentransformasikan pola pikir peserta didik dan lingkungan di Provinsi Jawa Timur agar berkemauan dan tergerak untuk kuliah. SIAP KULIAH menggunakan metode Root Cause Analysis (RCA) untuk mengidentifikasi apa saja penyebab utama kasus siswa SMA sederajat tidak melanjutkan studi ke pendidikan tinggi.

Hasil studi literature memperlihatkan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan siswa tidak melanjutkan edukasi ke jenjang pendidikan tinggi yaitu faktor ekonomi, lingkungan, keinginan langsung bekerja, dan pandangan negatif bagi lulusan perguruan tinggi.

SIAP Kuliah menerapkan dua teknik NLP yaitu teknik afirmasi diri dan teknik visualisasi diri. SIAP Kuliah juga bekerjasama dengan berbagai elemen mitra menggunakan konsep Pentahelix Stakeholder.

Gerakan perubahan sosial berbasis komunitas itu bertujuan untuk mentransformasi pola pikir siswa di Propinsi Jawa Timur agar berkemauan untuk kuliah. Sehingga, tujuan pendidikan untuk memajukan dan mensejahterahkan bangsa Indonesia dapat tercapai.

Gerakan tersebut dirasa mudah dilakukan karena menjangkau masyarakat komunitas yang terbatas jumlah dan luasnya. Selain itu terbuka untuk memberi penjelasan secara interpersonal tentang manfaat dan peluang lulusan perguruan tinggi.

Penulis adalah peraih Terbaik Jawa Timur Pilmapres 2021

Mahasiswa UNU Mewarisi Keilmuan Pendiri Bangsa

Oleh A. Mun’im DZ (Wasekjen PBNU)

Unusida tidak hanya berdiri sebagai kampus, tetapi juga sebagai wujud dan bukti NU yang tidak hanya bisa bertahan tetapi juga bisa berkembang. Jika menoleh pada sejarah, hingga kini NU telah membuktikan diri bertahan dari perubahan dan tekanan zaman.

Sebelum kemerdekaan, NU telah berhadapan dengan penjajah dan telah terbukti tanpa pamrih berbakti untuk negeri. Setelah kemerdekaan, NU juga berhadapan dengan kelompok Islam eksklusif yang menginginkan Indonesia menjadi negara Islam.

Tak cukup itu saja, pemberontakan PKI juga menjadi bagian dari perjuangan NU yang telah merenggut nyawa tak hanya warga, santri, bahkan kiai yang juga menjadi sasaran penumpasan. Di tambah lagi saat Orde Baru berkuasa yang tak memberi ruang dan kesempatan NU berkiprah dan berkarya apalagi terlibat dalam pembuatan atau pembahasan kebijakan.

Namun, Orde Baru memberi pelajaran berharga bagi NU tentang cara berkhitmat, berhitung, dan memanfaatkan momentum jika nantinya mendapatkan kesempatan. Terbukti setelah memasuki Orde Reformasi NU menampakkan diri dengan kedikdayaannya, salah satu contoh K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang menduduki kursi pimpinan tertinggi NKRI.

Meski tak berlangsung lama, Gus Dur telah menginspirasi banyak orang, terutama generasi NU, bahwa Nahdliyin diakui tak hanya oleh masyarakat nasional tetapi juga masyarakat dunia. Mulai dari pemikiran, hingga standarisasi kehidupan berbangsa dan bernegara -tak terkecuali berpolitik.

Reformasi juga memberikan kesempatan NU berkiprah di tingkat internasional dengan pemikiran rahmatan lil alamin-nya. Hingga hari ini lebih dari 60 negara merasakan kehadiran NU melalui Pengurus Cabang Istimewa.

Tak terkecuali di negara-negara konflik seperti Afganistan, yang kini dikuasai oleh Taliban. Hubungan dengan Taliban dimulai saat pembebasan 21 warga negara Korea Selatan yang disandra waktu itu.

Di antara kebuntuhan negara-negara termasuk PBB membebaskan tawanan itu, NU hadir bernegoisasi, dan berdiskusi tentang membangun sebuah negara dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Alhasil, hal itupun diterima dan berhasil membebaskan para tawanan.

Tak cukup itu saja, kerja sama keilmuan juga dijalin demi mencetak kader-kader yang tak hanya militan keilmuan tetapi juga militan menjaga tradisi dan warisan para pendahulu. Seperti Komite Hijaz berjuang mempertahankan situs penting Islam yang hingga saat ini bisa dinikmati oleh umat seluruh dunia.

Masuk di Universitas NU para mahasiswa akan mendapatkan kesempatan mencari ilmu, mendapatkan keberkahan, bisa melanjutkan perjuangan para pendahulu yang sudah diakui secara nasional, internasional, hingga di kehidupan akhirat kelak bertemu Sang Maestro Kehidupan Rasulullah Muhammad SAW.

Semoga Unusida dilimpahkan keberkahan dalam mengantarkan anak-anak menjemput masa depan kebermanfaatan umat dan masyarakat.

Santri Kampus Merdeka

Oleh Aries Izzudin

Alumni MQ dan Dosen Universitas NU Sidoarjo

Kaum santri lahir bersamaan dengan kemunculan pesantren di Nusantara yang berarti telah ada sejak sekitar abad ke-16. Dunia kaum santri tidak hanya berkutat pada pesantren dan kitab kuning. Pada masa kolonialisme, kaum santri juga ikut mengangkat senjata merebut kemerdekaan, menjadi motor perjuangan, bahkan terlibat dalam merumuskan dasar negara.

Keterlibatan Santri dalam memperjuangkan kemerdekaan dan menabuh genderang jihad melawan penjajahan tidak boleh dinafikan. Bahkan dalam sejarahnya, keberadaan santri di pesantren-pesantren yang ada di seluruh penjuru negeri digambarkan sebagai tembok baja atau benteng yang kokoh bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Tidak cukup sampai disitu, dari pesantren-pesantren inilah muncul perlawanan-perlawanan karena lahir para pemberani yang rela mati demi negaranya. Bahkan tak terhitung berapa juta santri yang merelakan nyawanya untuk mempertahankan negara,  sebelum maupun sesudah kemerdekaan.

Pada 1821-1837, Tuanku Imam Bonjol memimpin pergerakan kaum Paderi, Minangkabau. Di Aceh, Islam menjadi ruh penggerak utama untuk melawan kolonial. Aceh baru berhasil ditaklukkan setelah Belanda menyusupkan Snouck Hurgronje.

Sedangkan di Jawa, catatan perjuangan kaum santri tak ada henti-hentinya. Mulai dari pertempuran Fatahillah melawan Portugis, Perang Jawa (1925-1930) yang dipimpin Pangeran Diponegoro, pemberontakan petani Banten 1888, hingga Resolusi Jihad Oktober 1945.

Tak terhitung jumlah tokoh pergerakan santri ini gugur sebagai syuhada. Untuk mengenang jasa para pejuang itu pemerintah Republik Indonesia memberikan gelar pahlawan kepada mereka -meskipun tidak sedikitpun penghargaan itu diharapkan.

Perjuangan kaum santri dalam merebut kemerdekaan dari penindasan kaum penjajah adalah wujud independensi kaum santri. Mereka tidak bisa didikte oleh penjajah, mengesampingkan janji-janji manis yang diberikan oleh Belanda berupa jabatan-jabatan strategis, partner dagang maupun kesempatan belajar di sekolah-sekolah buatan Belanda. Mereka berpendapat bahwa bangsa ini tidak bisa didikte oleh kekuatan kaum penjajah dan harus bebas dari belenggu penjajah, dengan demikian harus dilawan dengan segala kekuatan yang ada, fisik maupun pemikiran.

Setelah berjuang merebut kemerdekaan dari penjajah, sebagaimana yang disampaikan KH Saifuddin Zuhri dalam buku autobiografinya “Guruku Orang-orang dari Pesantren” kaum santri kembali ke habitatnya masing-masing melanjutkan perannya di masyarakat, ada yang meleburkan diri ke dalam TNI, adapun sisanya yang tersebar untuk kembali ke pondok pesantren.

Kembali mendirikan pesantren serta mengajar dan menjadi kiai. Santri yang ingin jadi fashion creator kembali dan membuka lapak Taylor, yang hair stylies kembali memegangi kepala, dan yang ustadz kembali ke madrasahnya masing-masing.

Mereka puas telah menyumbangkan sesuatu kepada tanah air ini, kepada negara ini, di saat yang paling sulit, dan di saat nyawa menjadi taruhannya. Tetap bersyukur bahwa Allah melindungi mereka. Harapan mereka cuma satu, semoga amalnya diterima Allah sebagai amal yang saleh.

Santri yang sudah menjadi kiai dan mendirikan pesantren, sifat pesantren pada umumnya sangat mandiri, tidak sepenuhnya tergantung kepada pemerintah atau kekuasaan yang ada. Karena sifat mandirinya itu, pesantren bisa memegang teguh kemurnian lembaga pendidikan Islam.

Karena itu, pesantren tidak mudah disusupi oleh ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan ajaran Islam dan spirit dunia santri. Tetap independen sekalipun kerap kali diterpa berbagai godaan yang terkadang mengancam akar budaya pesantren.

Pendidikan pondok pesantren juga jadi bagian dari sistem pendidikan nasional yang memiliki 3 unsur utama, yaitu: 1) Kiai sebagai pendidik sekaligus pemilik pondok dan para santri; 2) Kurikulum pondok pesantren; dan 3) Sarana peribadatan dan pendidikan, seperti masjid, rumah kiai, dan pondok, serta sebagian madrasah dan bengkel-bengkel keterampilan. Kegiatannya terangkum dalam Tridarma Pondok pesantren: Keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT; 2) Pengembangan keilmuan yang bermanfaat; dan 3) Pengabdian kepada agama, masyarakat, dan negara.

Ciri khas pesantren semenjak dulu yang menjadikan daya pikat masyarakat adalah kesederhanaan, kemandirian, kebersamaan, keikhlasan, kepatuhan kepada guru, kepatuhan kepada nilai-nilai moral, dan akhlak, kesalehan invidual maupun kesalehan sosial dan lain sebagainya. Ternyata sistem ini sangat efektif untuk mendidik dan menciptakan  generasi Islam yang independen.

Berbagai unsur di atas merupakan bekal yang menjadikan pesantren sebagai lembaga yang mandiri dan santrinya mantab dengan independensi yang kuat.

Perkembangan pendidikan pondok pesantren pada periode Orde Baru seakan tenggelam eksistensinya karena seiring dengan kebijakan pemerintah yang kurang berpihak pada kepentingan umat Islam terutama dunia santri. Presiden Soeharto juga pernah menawarkan RUU Pesantren kepada Nahdlatul Ulama, namun Ketua Fraksi PPP yang saat itu diketuai oleh K.H. Bisyri Syamsuri menolak. Salah satu pendiri NU itu khawatir independensi pesantren akan terganggu dengan RUU Pesantren.

Meskipun berbagai macam perundang-undangan tentang pesantren mencoba untuk dibuat, para santri yang sudah menjadi kiai tetap pada independensinya terus membangun lembaga pendidikan dengan segala kemampuan yang dimiliki.

Banyak alumni pesantren yang mendirikan pesantren maupun madrasah atau sekolah atas dana swadaya masyarakat dan usaha kiai. Lembaga-lembaga tersebut eksis hingga kini dan sangat mempengaruhi kecerdasan hidup berbangsa dan bernegara.

Kemandirian dan kesederhanaan pesantren tidak boleh terganggu. Pesantren harus dijaga independensinya meskipun suatu saat nanti ada undang-undang yang mengatur pesantren.

Independensi santri juga tampak dalam bidang ekonomi. Santri yang umumnya bekerja di sektor non formal semakin leluasa bergerak dan menebarkan pengaruh nilai-nilai pesantren di masyarakat karena tidak ada kepentingan apapun yang menyertai. Dengan sangat leluasa mempengaruhi pola hidup masyarakat supaya agamis, berbudi pekerti serta menjadikan warga negara yang baik.

Zaman sudah berubah setelah reformasi 1997 bergulir, peran kaum santri semakin meluas, tidak hanya menjadi kiai dan mendirikan pesantren maupun madrasah. Santri sudah menguasai berbagai posisi strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada zaman orde baru kaum santri terutama yang mempunyai latar belakang keluarga Nahdlatul Ulama sangat sulit untuk menjadi aparatur sipil negara (asn) namun kini kesempatan itu ada.

Banyak juga santri berkiprah di dunia politik. Mereka juga ada yang menduduki jabatan penting di lembaga tinggi negara, mulai eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.

Akses belajar di perguruan tinggi juga sudah begitu mudah, para santri kini mempunyai beragam profesi yang linier dengan kompetensi dan passion-nya. Tak sedikit pula yang mengambil peran menjadi arsitektur, pengusaha, hakim, dosen, Polisi, TNI, komedian, penyanyi hingga programer, dan berbagai profesi yang dahulu seolah tidak mungkin dimiliki santri sebelum era reformasi.

Dengan beragamnya profesi yang dimiliki, mereka tetap dituntut untuk bisa menjaga independensinya di manapun dan kapanpun. Mereka berkewajiban menjaga karakter santri yakni sebagai muslim yang berakhlakul karimah.

Santri yang merdeka adalah santri yang tidak terpengaruh oleh godaan dan tidak bisa dipengaruhi oleh niat dan perbuatan buruk siapapun. Tak terombang-ambing oleh perubahan zaman. Tetap teguh pendirian sebagai santri untuk menebarkan Islam Rahmatal lil Alamin demi kemaslahatan umat.

Reaktualisasi Mabadi Nashrillah, Agar Hari Raya Lebih Bermakna

[vc_row][vc_column][vc_column_text]Drs. H. Khoifulloh, Wakil Rektor 2 Unusida

Kita patut bahkan wajib bersyukur atas banyak hal terutama suasana damai dan aman saat melaksanakan ibadah puasa hingga merayakan idul fitri tahun ini. Selama bulan Ramadan umat Islam terlihat bersemangat tinggi menyemarakkan bulan suci dengan beragam ibadah dengan tetap memperhatikan protkol kesehatan terkait pandemi. Semoga Allah SWT berkenan menerima semua amal ibadah kita terutama selama bulan Ramadan.

Fenomena di penghujung bulan Ramadan, kaum muslimin menyiapkan datangnya Idul Fitri. Idul Fitri di anggap sebagai hari suka cita, hari semarak siar Islam, hari silaturahmi dengan beragam bentuk ekspresi pendukungnya antara lain : baju baru, ragam kuliner, jajanan meja dan sebagainya. Kesan Gebyar, semarak, meriah, dan suka cita melekat pada perayaan Idul Fitri. Masjid, musholla, sarana umum, pusat belanja bahkan acara televisi juga medsos penuh dengan aksesoris hiasan symbol gebyar dan kesuka citaan Idul Fitri. Banyak kaum muslimin tidak memperbarui cat rumah kecuali menjelang Idul Fitri semua sekali lagi menunjukkan kesan gebyar, semarak, meriah dan suka cita.

Fenomena seperti ini membutuhkan dukungan finansial yang melahirkan budaya atau kebijakan THR bagi karyawan di instansi atau perusahaan. Termasuk yang juga menarik perhatian adalah tradisi mudik yang karena masih suasana pandemi, tahun ini harus dilakukan dengan banyak aturan pembatasan atau secara virtual.

Gebyar, semarak, meriah dan suka cita adalah ekspresi lahiriyah yang wajar bahkan ada pembenar dari ajaran Islam. Nabi Muhammad SAW menganjurkan agar hari raya Idul Fitri di semarakkan dengan lantunan takbir, tahmid dan tasbih. Beliau juga memerintahkan agar seluruh umat Islam pria wanita bahkan yang haid, nifas, wanita pingitan untuk diajak hadir di lapangan atau halaman masjid lokasi sholat Id guna menambah syiar idul fitri.

Beliau juga mendorong dan mencontohkan silaturahmi dan saling memaafkan saat idul fitri. Aspek lahiriah ini harus diimbangi dan disempurnakan dengan aspek bathin dan nuansa rohani (Transenden) agar tidak salah arah dan lebih bermakna.

              Idul Fitri kalau kita maknai secara harfiah berarti kembali kepada fitrah, kesucian diri sebagai insan yang di ciptakan Allah dengan bentuk dan takaran yang paling baik (Ahsani Taqwim) dhohir dan bathin. Menurut Syeikh Mustofa Mas’ud Al-Haqqany, bahwa esensi tugas Nabi Muhammad menyampaikan risalah agama Islam adalah menjaga manusia yang lahir dalam keadaan fitrah agar kembali menghadap Allah SWT juga dalam keadaan fitrah. Jangan sampai terperosok menjadi golongan hina terendah (asfala safilin) akibat menuruti nafsu dan ajakan setan. Idul Fitri adalah momen kembalinya fitrah manusia sebagai manusia suci seperti saat dilahirkan (ka yaumin waladathu ummuhu). Pada titik ini maka sikap batin yang tepat adalah mempertebal rasa syukur ke hadlirat Allah SWT diiringi sikap hati mengagungkan dan mensucikan Allah SWT. Takbiran sebagai ekspresi lahiriah haruslah dibarengi dengan rasa syukur mendalam, mengagungkan dan mensucikan Allah SWT dengan sepenuh hati. Syukur atas anugrah Idul Fitri dibarengi komitmen untuk mempertahankannya.

Sementara gerakan silaturahmi dan saling memaafkan hingga muncul tradisi khas nusantara yakni halal bi halal dan mudik adalah sesuatu yang baik dan perlu dilestarikan dan ditingkatkan kualitas transendensinya. Dalil keutamaan silaturahmi dan saling memaafkan sudah popular baik dari Al-Qur’an maupun Hadist Nabi Muhammad SAW. Bentuk ekspresinya berupa mudik atau halal bi halal adalah kreasi cerdas ulama nusantara.

Agar makin bermakna silaturahmi perlu dibarengi dengan semangat nilai Mabadi Nasrilah yakni 3 pondasi meraih pertolongan Allah SWT. Gerakan yang dicetuskan oleh KH Abdul Wachid Hasyim saat menghadapi tekanan penjajah Jepang yang membekukan Jamiyah NU serta memenjarakan para Kyai termasuk Hadratusy Syeikh Hasyim Asyari. Gerakan Mabadi Nasrilah ini masih relevan bahkan penting agar silaturahmi tidak berhenti pada tegur sapa, basa-basi, berbagi resep kuliner dan bahas jajanan lebaran tapi juga menjadi solusi ditengah kondisi masyarakat, bangsa dan bahkan dunia yang dihimpit banyak masalah.

Mulai serangan Covid-19, serbuan budaya gadget dengan beragam muatan negatifnya seperti pornografi, game online, medsos yang tidak sehat dan lain-lain. Efek pandemic yang memukul dunia pendidikan, ekonomi dan sector lainnya adalah beberapa masalah nyata ditengah kita. Jangan sampai sukacita, semarak dan syiar Idul Fitri justru mendorong kita untuk abai.

Berikut ini tiga pondasi Mabadi Nasrilah. Pertama, Tazawaru Baduhum Bado saling mengunjungi bertemu fisik sebisa mungkin atau virtual karena kendala pandemi.

Kedua, Tawasau bil haq wa tawasau bishobri berbagi agenda berbagi inspirasi berbasis informasi yang benar dan dilakukan dengan kesabaran. Dalam setiap pertemuan silaturahmi lakukan dialog pembicaraan konstruktif. Hindari sebisa mungkin pembicaraan negatif antara lain : ujaran kebencian, berita hoax, cerita jorok dan ngelantur. Bukan hanya karena menghabiskan waktu tapi juga menghabiskan pahala ibadah dan menghalangi turunnya pertolongan Allah SWT untuk mengatasi beragam persoalan dan juga mencapai target cita-cita mulia. Termasuk didalamnya cita-cita mulia Unusida mencerdaskan SDM Indonesia berbasis nilai Ahlussunnah wal Jamaah.

              Ketiga, Taqarub Ilallah selalu menggerakkan hati mendekat kepada Allah SWT lewat dzikir, fikir, doa dan amal shaleh. Para Kiai kita selalu mengajak kita doa dan dzikir di sela pertemuan silaturahmi. Hal ini juga perlu kita tiru praktekkan dalam setiap kesempatan silaturahmi. Dengan demikian kemeriahan, sukacita dan syiar idul fitri benar-benar bermakna bahkan melahirkan solusi bagi persoalan yang ada serta menjadi jalan kesuksesan agenda dan cita-cita mulia kita.

             Taqabbalallahu minna wa minkum, semoga Allah menerima amal ibadah kita semua.

              Minal Aidzin wal Faizin kulla amin kunna wa antum bi khoir, Semoga Allah menjadikan kita golongan insan yang kembali fitri dan beruntung bahagia dunia akherat sepanjang tahun dalam keadaan terbaik.

              Amin Yaa ilaahal ‘alamin

              Selamat Hari Raya Idul Fitri 1442 H, Mohon maaf lahir bathin.

[/vc_column_text][/vc_column][/vc_row]

Harmoni dan Daya Tahan Masyarakat Sidoarjo

Oleh M. Idham Kholiq

“Iki Sidoarjo cak, beda karo daerah liyo” sering mendengar istilah tersebut dalam berbagai perjumpaan. Di forum-forum diskusi maupun di tempat-tempat perbincangan lain seperti warung kopi dan pasar.

Tersirat suatu makna sosiologis atas pernyataan tersebut. Pernyataan yang menggambarkan gambaran sosial yang hendak disampaikan bahwa Sidoarjo itu memiliki karakter sosial yang perlu diterangkan secara sosiologis.

Sidoarjo saat ini memang sedang bergerak cepat menjadi kawasan industri, khususnya menyangkut mobilitas sosial ekonomi. Ribuan perusahaan manufaktur berdiri dan berkembang.

Dari aspek ekonomi, pertumbuhan industri menjadi daya dorong pertumbuhan berbagai pergerakan ekonomi lainnya, seperti kebutuhan perumahan, perdagangan, dan lainnya.

Secara sosial, industrialisasi berdampak pertumbuhan penduduk karena urbanisasi. Pertumbuhan penduduk itu tentu saja secara langsung mempengaruhi kondisi sosial masyarakat Sidoarjo, khususnya tingkat heterogenitas yang makin tinggi.

Di masa lalu, sebelum laju pertumbuhan industri begitu kencang, mata pencaharian masyarakat Sidoarjo relatif terbagi dalam tiga kelompok besar, yakni pertanian, perdagangan, dan  perikanan.

Sektor pertanian lebih banyak berada di wilayah barat Sidoarjo, berada kurang lebih 5 kilometer arah barat dari Jalan Raya. Wilayah itu seperti kecamatan Wonoayu, Tulangan, Krembung, Prambon, Balongbendo, dan Tarik.

Sedangkan wilayah kedua adalah jalur sepanjang jalan raya yang membentang dari Waru hingga Porong. Jalan raya ini merupakan Jalan Deandles yang menghubungkan Anyer Panarukan di jalur Utara Pulau Jawa.

Dibukanya jalur tersebut memang berdampak pada pertumbuhan perdagangan di sekitar jalur, mulai tumbuhnya pasar-pasar tradisional dari Waru hingga Porong. Semuanya rata-rata berada di Jalur Deandles.

Selain pasar, tumbuh industri kecil dan usaha rumahan yang berkembang di masyarakat sekitar jalur dalam radius kurang lebih 5 Kilometer ke barat dan timur jalan. Contohnya, industri rumahan seperti industri sandal di Wedoro, Waru; industri topi di Punggul, Gedangan; industri mainan anak-anak di Candisayang, Candi; dan pengerajin kulit di Kecamatan Tanggulangin.

Wilayah ketiga adalah bagian timur atau pesisir yang berada di wilayah paling timur Sidoarjo mulai dari Waru hingga Porong dan Jabon. Rata-rata masyarakatnya bermata pencaharian dari sektor perikanan, sebagai pencari ikan di laut, petambak, dan industri olahan ikan.

Ketiga masyarakat tersebut tumbuh dengan karakter sosial yang agak berbeda. Di wilayah barat karena sektor pertanian, karakter sosial masyarakatnya relatif lebih terikat oleh norma-norma paguyuban sebagai masyarakat pertanian. Sedangkan masyarakat di jalur jalan raya karena bergerak di sektor perdagangan relatif lebih digerakkan oleh norma-norma tertentu yang mengedepankan perhitungan-perhitungan transaksional. Sementara, karakter masyarakat di timur pesisir Sidoarjo, relatif terbentuk karakter yang keras karena perjuangan melawan kerasnya alam pesisir.

Namun, di antara perbedaan karakter ketiganya, masyarakat Sidoarjo secara keseluruhan di masa itu dikenal sebagai masyarakat yang relatif hidup dengan kemakmuran. Dulu, banyak disebutkan suatu keadaan yang menggambarkan kondisi ini. Warga Sidoarjo suka sekali “marung” dengan gaya pakaian seadanya seperti sarungan, berpeci butut tapi bawa uang banyak.

Sejak industrialisasi masuk ke Sidoarjo sekitar tahun 90an kondisinya relatif berubah. Industrialisasi telah membawa kemunduran ekonomi masyarakat Sidoarjo di tiga kawasan tersebut. Di bagian barat, lahan-lahan pertanian makin menipis karena dijual pemiliknya untuk pabrik dan perumahan. Demikian juga di wilayah timur, sektor perikanan juga mengalami kemunduran, lahan-lahan tambak makin banyak dijual untuk pabrik dan perumahan. Sedangkan di kawasan tengah, laju perdagangan modern juga berdampak meminggirkan pasar-pasar tradisional.

Tetapi catatan pentingnya adalah di dalam penetrasi industrialisasi yang kencang itu hampir tidak terdengar istilah penggerusan terhadap masyarakat Sidoarjo. Sebaliknya masyarakat Sidoarjo tetap bergerak maju bersama-sama industrialisasi.

Inilah yang dalam pandangan saya, disebut sebagai daya tahan sosial, yang manifesnya secara inharen di dalam sistem sosial masyarakat Sidoarjo.

Dalam pandangan Talcott Parsons, situasi ini ada di dalam sistem sosial, yang terdapat dalam empat kategori; (L)atent maintenance-norm, (I)ntegration, (G)oal attainment, dan (A)daptation.

Latent maintenance-norm menjadi daya tahan “budaya” dengan nilai dan norma-norma yang menyebabkan masyarakat Sidoarjo tetap tidak “terpinggirkan” karena penetrasi budaya masyarakat industri. Masyarakat Sidoarjo tetap hidup dalam adat kebiasaannya seperti tradisi unjung-unjung, yasinan, mitoni, selapanan, ziarah kubur, dan lain-lain.

Integration, menjadikan masyarakat mudah “mempertemukan” dirinya dengan masyarakat pendatang, sehingga terhindar dari konflik sosial, seperti pertentangan antara warga asli dan pendatang. Semuanya menyatu menjadi masyarakat Sidoarjo.

Goal attainment menjadi kekuatan bersama untuk mencapai kemajuan. Dalam bidang ekonomi, masyarakat Sidoarjo tidak pernah terpinggirkan secara ekonomi, bahkan ikut maju bersama secara ekonomi.

Kita saksikan bagaimana warga Sidoarjo mengkapitalisasi uang yang mereka peroleh dari penjualan sawah-sawah mereka kepada perusahaan dan perumahan, dikapitalisasi untuk modal usaha baru seperti mendirikan rumah-rumah kost. Mereka juga sangat cermat memanfaatkan halaman rumah mereka untuk mendirikan toko, bengkel, usaha cuci motor, bahkan banyak yang mendirikan bangunan disewakan untuk toko dan warung.

Di daerah barat, seperti Wonoayu, Tulangan, Krembung dan lainnya, beberapa usaha jual beli rongsokan banyak berdiri milik warga setempat. Mereka punya lobi dengan pabrik-pabrik untuk berbisnis pembelian barang-barang yang sudah tidak digunakan di pabrik-pabrik. Bahkan ada yang mendirikan pabrik di belakang rumah mereka untuk pengelolaan barang-barang itu. Semuanya menjadi kekuatan mencapai kemakmuran bersama industrialisasi di Sidoarjo.

Adaptation, menjadi kekuatan individu-individu warga Sidoarjo membaca peluang dan mengantisipasi perubahan-perubahan.

Pendek kata, inilah daya tahan masyarakat Sidoarjo, yang dalam pandangan Parsons selalu menjadi kekuatan yang mengarahkan kepada keseimbangan sosial, yang selalu menciptakan harmoni dalam kehidupan sosial di Sidoarjo.

 

Penulis adalah Kepala Bagian Humas Universitas NU Sidoarjo yang juga Ketua Keluarga Alumni Gajah Mada (Kagama) Sidoarjo

Masker, Tak Sekedar Protokol Kesehatan

Senin 27 Juli 2020, sebelum rapat evaluasi Sistem Informasi Manajemen, Rektor Unusida Dr. Fatkul Anam memberi saya masker. Tak fikir itu masker kain seperti biasanya. Ternyata, masker yang saya terima ada logo kampus Unusida. Sontak saya pun mengganti masker lama yang sedang saya pakai dengan masker pemberian rektor.

Flash back ke masa sebelum pandemi, saat itu jarang orang memakai masker. Umumnya yang memakai hanya untuk urusan beberapa bidang pekerjaan, menghindari bau, dan debu. Sejak Covid-19 merebak, pemerintah gencar sosialisasikan bahwa masker harus jadi bagian hidup.

Masih teringat ketika awal Maret 2020, Presiden Jokowi mengumumkan 2 pasien Covid-19 pertama berkewarganegaraan Indonesia. Semenjak itu pembicaraan dan pemberitaan tentang pandemi meramaikan ruang publik.

Respon public beragam. Ada yang tak peduli. Sebagian lagi sangat khawatir bahkan panic.

Memborong masker untuk persediaan, jadi salah satu fenomena menyikapi pandemi. Sempat terjadi kelangkaan masker, karena terjadi penimbunan masker yang mengakibatkan kenaikan harga masker hingga 1000 persen.

Tetapi tak selamanya penimbunan menghasilkan sesuatu yang diharapkan. Sebagian masyarakat memanfaatkan momen itu untuk membuka bisnis pembuatan masker baru dari kain. Bahkan, yang lebih menyakitkan bagi para penimbun yakni masker yang dibagikan secara gratis oleh para relawan.

Yang lebih ekstrem lagi ada gerakan donasi kain perca untuk bahan produksi masker gratis, seperti yang dilakukan Pengurus Wilayah Fatayat NU Jatim. Lazisnu di banyak daerah juga memborong masker dari dana filantropi yang dikumpulkannya untuk selanjutnya dibagikan gratis. Pemerintah pun tak ingin ketinggalan, termasuk Pemkab Sidoarjo bahkan Wakil Bupati Nur Ahmad Syaifuddin turun langsung membagikan masker kepada warga.

Fenomena masker kemudian mengalami pergeseran. Awalnya masker sebagai lahan bisnis, kemudian lahan amal, juga sebagai wujud kepedulian pemerintah kini, berubah menjadi wahana ekspresi seni dan identitas.

Mulai bermunculan masker dengan beragam motif. Ada juga masker dengan beragam gambar, mulai animasi, hingga gambar bagian wajah yang tertutup masker yakni bibir dan sekitarnya.

Trend ini berkembang menjadi modis. Perancang busana mulai memasukkan masker dalam rancangan busananya, sehingga harmoni warna dan model masker serta busana menjadi pertimbangan dalam membuat masker.

Nahdlatul Ulama beserta badan otonom, lembaga, dan unit usahanya masing-masing memproduksi masker sesuai identitas organisasi. Masjid pun juga melakukan hal sama, memproduksi masker beridentitas masjid masing-masing untuk jamaahnya. Mungkin juga jemaat gereja dan komunitas agama lainnya. Madrasah, sekolah, pondok pesantren, madrasah diniyah termasuk perguruan tinggi juga mengikuti trend tersebut.

Apapun motif dan motivasinya, memproduksi, membagi, dan memakai masker, tujuan awal dan utamanya adalah mencegah penyebaran Covid-19. Segala upaya pencegahan yang disusun dalam protokol kesehatan harus kita patuhi. Dengan kesadaran bersama dan sinergi semua elemen masyarakat insya Allah pandemi Covid-19 berakhir. Amin.

Masker tak hanya bagian dari upaya Unusida melaksanakan pencegahan penyebaran virus tetapi juga menjadi media promosi. Bahkan, ada kebanggaan bagi warga NU karena mengenakan salah satu simbol kebanggan NU Sidoarjo.

Penulis: Aris Karomy, Kepala Biro Umum Unusida.