Perempuan Pesisir – Rainh De Jepara
[vc_row][vc_column][vc_column_text]Badruzzaman, Ketua Badan Kemaritiman PCNU Sidoarjo
Waktu di sekolah dasar, pernakah mendapat tugas menggambar pantai Dan lautan dengan nelayannya?
Biasanya ( paling tidak saya sendiri) gambaran kehidupan nelayan kerap diasumsikan sebagai laki-laki, seakan-akan nelayan adalah pekerjaan yang dikhususkan untuk laki-laki saja. Padahal, kenyataannya tidak demikian.
Menurut FAO – Organisasi Pangan dan Pertanian PBB, perempuan merupakan satu dari dua pekerja di sektor makanan laut di seluruh dunia. Perempuan mendominasi kegiatan pasca panen seperti pengolahan dan pemasaran ikan. Di Indonesia sendiri, 50 persen perempuan terlibat sebagai nelayan dan/atau pekerjaan di sektor perikanan lainnya.
Besar sekali, Kontribusi perempuan di sector perikanan bukan? Tapi labelling atau stereotype , “Nelayan” Ada lah laki laki.
Perempuan umumnya hanya dipandang sebagai istri nelayan, atau terlibat dalam kegiatan menangkap ikan sebagai bagian dari tugas rumah tangga mereka, tanpa dibayar.
Akibatnya, laki-laki cenderung terlibat dalam kegiatan rantai nilai kelas atas seperti penangkapan ikan, pengangkutan, distribusi dan perdagangan perantara, sementara perempuan memegang peran dalam rantai nilai kelas bawah, seperti penilaian, pemilahan, dan penjualan ikan di pasar.
Tanpa rekognisi atas status mereka sebagai “nelayan, pembudidaya, petani ” perempuan, tidak memiliki hak hukum dan kesulitan mendapatkan dukungan dari pemerintah.
Absennya pengakuan bagi perempuan sebagai salah satu pemain utama di sektor perikanan menciptakan kesenjangan bagi kaum perempuan dalam berpartisipasi dan mengakses peluang ekonomi.
Kegagalan untuk mengakui peran perempuan di “blue economy” Ato sektor perikanan ini tidak hanya menghalangi perempuan untuk mengakses atau memenuhi syarat untuk mendapatkan manfaat perlindungan sosial yang ditawarkan oleh pemerintah , tetapi juga menghambat kontribusi penting perempuan terkait ketahanan pangan dan mata pencaharian, pemulihan global dari krisis pasca pandemi covid ini, serta partisipasi perempuan dalam menjaga ekosistem kemaritiman itu sendiri.
Pengakuan Dan pelibatan perempuan dalam “blue economy – pemanfaatan sumber daya laut yang berwawasan lingkungan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan, dan mata pencaharian sekaligus pelestarian ekosistem laut” Adalah “rekognisi” Dimana 1. Perempuan adalah actor utama nya, 2. Kontribusi partisipasi perempuan mempercepat pengentasan kemiskinan, 3. Partisipasi perempuan meningkatkan kapasitas pengelolaan ekosistem kemaritiman yg berkelanjutan.
Selamat Hari Kartini!!!
Di jepara, 3 abad sebelum Kartini lahir, Ada sosok perempuan hebat, yang “viral” disebut dengan nama ratu kalinyamat.
Pada buku Suma Oriental yang ditulis oleh penulis asal Portugis, Tome Pires, dijelaskan jika Jepara baru dikenal pada abad ke-15 atau sekitar 1470 masehi.
Jepara dikenal sebagai kawasan bandar perdagangan kecil di bawah pemeritahan Kerajaan Demak yang dihuni sekitar 100 orang dan dipimpin Aryo Timur.
Ratu Kalinyamat dinobatkan menduduki puncak tahta pada 10 April 1549, bertepatan dengan candra sengkala Trus (Karya Titaning Bumi).
Ratu Kalinyamat merupakan keturunan Brawijaya V, raja terakhir Majapahit dari Raden Patah (Raja Demak pertama). Ayahnya sang Sultan Trenggana, adalah anak dari Raden Patah yang juga Sultan Demak III (1505-1521).
Di masa Ratu Kalinyamat, Jepara menjadi negeri yang makmur, kuat dan mashur. Bahkan, Ratu Kalinyamat berhasil membangun kedaulatan keamanan dan mampu membangun aliansi strategis untuk mengatasi ancaman kolonial. Supremasi peradaban maritim pasca majapahit diwujudkan oleh nya.
Sejarah mencatat, pada tahun 1550 Kalinyamat mengirim 4.000 tentara Jepara dalam 40 kapal memenuhi permintaan Sultan Johor untuk membebaskan Malaka dari kekuasaan bangsa Eropa itu. Kalinyamat tak pernah jera meski serangan pertama itu belum mampu mengusir Portugis dari bumi Nusantara.
Pada tahun 1565 ia kembali mengirim pasukannya, memenuhi permintaan orang-orang Hitu di Ambon untuk menghadapi gangguan bangsa Portugis dan kaum Hative.
Kendati dua kali mengalami kekalahan, Ratu Kalinyamat telah menunjukkan bahwa dirinya seorang wanita yang gagah berani. Bahkan Portugis mencatatnya sebagai rainha de Japara, senhora poderosa e rica, de kranige Dame, yang berarti “Ratu Jepara seorang wanita yang kaya dan berkuasa, seorang perempuan pemberani”.
Selamat hari Kartini!!!
Membaca dari Jepara kita wujudkan ” Poros maritim Dunia”,
* disarikan dari berbagai sumber.[/vc_column_text][/vc_column][/vc_row]