Oleh: Sholehuddin* sekretaris BPP UNUSIDA
Hari ini (17/8) bangsa Indonesia bertahniah (merayakan) Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-77. Bagi umat Islam sangat istimewa karena beriringan dengan tahun baru Islam 1444 H. Tentu ini berkah tidak saja untuk umat tertentu, tapi juga seluruh bangsa yang majemuk ini.
Di usia yang 77 tahun ini seiring gencarnya arus informasi melalui tranformasi digital yang tak terbendung, bangsa kita menghadapi tantangan kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara. Dalam kehidupan beragama kita mengalami ‘kemunduran’ dalam memahami perbedaan. Makin marak adanya klaim kebenaran dan menyalahkan pihak yang berbeda. Sementara agama mengajarkan, secara internal ada prinsip “lana a’maluna wa lakum a’malukum” di sisi lain secara eksternal “lakum dinukum waliya din”.
Dalam hal berbangsa dan bernegara, sebagian di antara kita belum bisa menghormati sesama, termasuk menghormati pemimpinnya. Kekurangan pasti ada, tetapi tidak sepatutnya simbol negara direndahkan. Padahal, jangankan simbol negara, sesama manusia saja apa lagi sesama bangsa harus saling menghargai dan menghormati. Tidak boleh saling membenci. Sebab, satu kebencian akan menutupi seribu kebaikan.
Dalam bernegara kita dihadapkan dengan tantangan penegakan supremasi hukum dan keadilan. Kasus penembakan yang melibatkan oknum sesama aparat yang menghebohkan jagat maya menjadi pelajaran penting. Sebab, jika hal ini berlarut, maka tingkat kepercayaan masyarakat kepada aparat akan hilang dan itu berbahaya dalam sistem ketahanan negara. Banyak negara konflik dipicu dari ketidak percayaan pada aparat negara.
Seiring dengan memasuki tahun baru Islam 1444 H, ada pesan menjadikan hijrah Nabi sebagai spirit perjuangan mengisi kemerdekaan. Dua momentum ini beririsan antara agama dan negara, negara dan agama. Kemerdekaan pasca reformasi dan pandemi ini memunculkan tema HUT Kemerdekaan ke 77 yakni “Pulih lebih cepat bangkit lebih kuat”.
Menurut M. Salabi, Nabi membangun negara Madinah menjadi negeri yang damai. Ada empat tonggak sejarah dalam menciptakan negara yang damai penuh peradaban. Pertama, membangun masjid. Ini menjadi simbol ketakwaan dan ketaatan. Allah berfirman, bahwa jika penduduk suatu negeri beriman dan bertaqwa maka dibukakan pintu berkah dari langit dan bumi. Jika mendustakan, Allah mencabut karena ulah mereka.
Kedua, menyatukan dua komunitas muslim, kaum ansor dan muhajirin. Kaum ansor adalah penduduk asli, sedangkan muhajirin merupakan pendatang. Saat ini masyarakat Indonesia mengalami pergeseran dari pedesaan menjadi perkotaan atau yang lebih dikenal masyarakat urban. Mereka ini biasanya realistis. Dalil atau data menjadi penting. Meski demikian, egosentris menjadi penghalang, karena egosentris akan menutupi kebenaran dan fakta.
Menghadapi problem ini, nabi mengajarkan bahwa sesana mukmin itu seperti bangunan. Harus saling menguatkan, bukan saling menjatuhkan. Jika ingin berbuat sesuatu apapun kepada,orang lain bayangkan jika hal itu menimpa diri sendiri. Dan, sekecil apapun kebaikan Allah pasti melihatnya dan sebaliknya.
Ketiga, membuat perjanjian damai dengan dua agama besar selain Islam yaitu Yahudi dan Nasrani. Inilah diaebut dengan Piagam Madinah (Madinah Charter). Perjanjian ini mengukuhkan Madinah menjadi negara berdasarkan kesepakatan. Dalam konteks Indonesia, bangsa Indonesia sudah memiliki dasar Pancasila sebagai kesepakatan para pendiri bangsa. Pancasila sekaligus menjadi Titik Temu (Kalimatun Sawa’) untuk menjembatani berbagai agama.
Keempat, membangun tata kelola ekonomi, politik dan budaya berdasarkan nilai-nilai agama yang universal, seperti keadilan dan tolong menolong. Keadilan harus menjadi panglima kebenaran.
Hukum tidak pandang bulu. Maka, tantangan ke depan adalah meneguhkan kembali keadilan dalam kehidupan masyarakat.
Begitu pula tolong menolong dalam falsafah bangsa dan jati diri bangsa sudah ada gotong royong. Tinggal penguatan- penguatan melalui jalur pendidikan dan kemasyarakatan. Saat ini sedang gencar Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) dalam kurikulum merdeka dan Penguatan Moderasi Beragama (PMB) menjadi salah satu prioritas pembangunan. Tentu ini menjadi modalitas penting dalam rangka memulihkan dan membangkitkan semangat menuju negeri yang damai (darus salam) sebagaimana dicontohkan Nabi Saw. Dirgahayu Kemerdekaan RI ke 77 tahun 2022.
*Dr. H. Sholehuddin, M.Pd.I, adalah Widyaiswara Balai Diklat Keagamaan Surabaya dan Ketua ISNU Sidoarjo. Saat ini mendapatkan tugas sebagai IN PMB.
Sumber: https://www.sholehuddinur.com/opini/1492/hari-ini-17-8-bangsa-indonesia-bertahniah-merayakan-hari-ulang-tahun-hut-kemerdekaan-republik-indonesia-yang-ke-77/.html[/vc_column_text][/vc_column][/vc_row]