Oleh Aries Izzudin
Alumni MQ dan Dosen Universitas NU Sidoarjo
Kaum santri lahir bersamaan dengan kemunculan pesantren di Nusantara yang berarti telah ada sejak sekitar abad ke-16. Dunia kaum santri tidak hanya berkutat pada pesantren dan kitab kuning. Pada masa kolonialisme, kaum santri juga ikut mengangkat senjata merebut kemerdekaan, menjadi motor perjuangan, bahkan terlibat dalam merumuskan dasar negara.
Keterlibatan Santri dalam memperjuangkan kemerdekaan dan menabuh genderang jihad melawan penjajahan tidak boleh dinafikan. Bahkan dalam sejarahnya, keberadaan santri di pesantren-pesantren yang ada di seluruh penjuru negeri digambarkan sebagai tembok baja atau benteng yang kokoh bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Tidak cukup sampai disitu, dari pesantren-pesantren inilah muncul perlawanan-perlawanan karena lahir para pemberani yang rela mati demi negaranya. Bahkan tak terhitung berapa juta santri yang merelakan nyawanya untuk mempertahankan negara, sebelum maupun sesudah kemerdekaan.
Pada 1821-1837, Tuanku Imam Bonjol memimpin pergerakan kaum Paderi, Minangkabau. Di Aceh, Islam menjadi ruh penggerak utama untuk melawan kolonial. Aceh baru berhasil ditaklukkan setelah Belanda menyusupkan Snouck Hurgronje.
Sedangkan di Jawa, catatan perjuangan kaum santri tak ada henti-hentinya. Mulai dari pertempuran Fatahillah melawan Portugis, Perang Jawa (1925-1930) yang dipimpin Pangeran Diponegoro, pemberontakan petani Banten 1888, hingga Resolusi Jihad Oktober 1945.
Tak terhitung jumlah tokoh pergerakan santri ini gugur sebagai syuhada. Untuk mengenang jasa para pejuang itu pemerintah Republik Indonesia memberikan gelar pahlawan kepada mereka -meskipun tidak sedikitpun penghargaan itu diharapkan.
Perjuangan kaum santri dalam merebut kemerdekaan dari penindasan kaum penjajah adalah wujud independensi kaum santri. Mereka tidak bisa didikte oleh penjajah, mengesampingkan janji-janji manis yang diberikan oleh Belanda berupa jabatan-jabatan strategis, partner dagang maupun kesempatan belajar di sekolah-sekolah buatan Belanda. Mereka berpendapat bahwa bangsa ini tidak bisa didikte oleh kekuatan kaum penjajah dan harus bebas dari belenggu penjajah, dengan demikian harus dilawan dengan segala kekuatan yang ada, fisik maupun pemikiran.
Setelah berjuang merebut kemerdekaan dari penjajah, sebagaimana yang disampaikan KH Saifuddin Zuhri dalam buku autobiografinya “Guruku Orang-orang dari Pesantren” kaum santri kembali ke habitatnya masing-masing melanjutkan perannya di masyarakat, ada yang meleburkan diri ke dalam TNI, adapun sisanya yang tersebar untuk kembali ke pondok pesantren.
Kembali mendirikan pesantren serta mengajar dan menjadi kiai. Santri yang ingin jadi fashion creator kembali dan membuka lapak Taylor, yang hair stylies kembali memegangi kepala, dan yang ustadz kembali ke madrasahnya masing-masing.
Mereka puas telah menyumbangkan sesuatu kepada tanah air ini, kepada negara ini, di saat yang paling sulit, dan di saat nyawa menjadi taruhannya. Tetap bersyukur bahwa Allah melindungi mereka. Harapan mereka cuma satu, semoga amalnya diterima Allah sebagai amal yang saleh.
Santri yang sudah menjadi kiai dan mendirikan pesantren, sifat pesantren pada umumnya sangat mandiri, tidak sepenuhnya tergantung kepada pemerintah atau kekuasaan yang ada. Karena sifat mandirinya itu, pesantren bisa memegang teguh kemurnian lembaga pendidikan Islam.
Karena itu, pesantren tidak mudah disusupi oleh ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan ajaran Islam dan spirit dunia santri. Tetap independen sekalipun kerap kali diterpa berbagai godaan yang terkadang mengancam akar budaya pesantren.
Pendidikan pondok pesantren juga jadi bagian dari sistem pendidikan nasional yang memiliki 3 unsur utama, yaitu: 1) Kiai sebagai pendidik sekaligus pemilik pondok dan para santri; 2) Kurikulum pondok pesantren; dan 3) Sarana peribadatan dan pendidikan, seperti masjid, rumah kiai, dan pondok, serta sebagian madrasah dan bengkel-bengkel keterampilan. Kegiatannya terangkum dalam Tridarma Pondok pesantren: Keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT; 2) Pengembangan keilmuan yang bermanfaat; dan 3) Pengabdian kepada agama, masyarakat, dan negara.
Ciri khas pesantren semenjak dulu yang menjadikan daya pikat masyarakat adalah kesederhanaan, kemandirian, kebersamaan, keikhlasan, kepatuhan kepada guru, kepatuhan kepada nilai-nilai moral, dan akhlak, kesalehan invidual maupun kesalehan sosial dan lain sebagainya. Ternyata sistem ini sangat efektif untuk mendidik dan menciptakan generasi Islam yang independen.
Berbagai unsur di atas merupakan bekal yang menjadikan pesantren sebagai lembaga yang mandiri dan santrinya mantab dengan independensi yang kuat.
Perkembangan pendidikan pondok pesantren pada periode Orde Baru seakan tenggelam eksistensinya karena seiring dengan kebijakan pemerintah yang kurang berpihak pada kepentingan umat Islam terutama dunia santri. Presiden Soeharto juga pernah menawarkan RUU Pesantren kepada Nahdlatul Ulama, namun Ketua Fraksi PPP yang saat itu diketuai oleh K.H. Bisyri Syamsuri menolak. Salah satu pendiri NU itu khawatir independensi pesantren akan terganggu dengan RUU Pesantren.
Meskipun berbagai macam perundang-undangan tentang pesantren mencoba untuk dibuat, para santri yang sudah menjadi kiai tetap pada independensinya terus membangun lembaga pendidikan dengan segala kemampuan yang dimiliki.
Banyak alumni pesantren yang mendirikan pesantren maupun madrasah atau sekolah atas dana swadaya masyarakat dan usaha kiai. Lembaga-lembaga tersebut eksis hingga kini dan sangat mempengaruhi kecerdasan hidup berbangsa dan bernegara.
Kemandirian dan kesederhanaan pesantren tidak boleh terganggu. Pesantren harus dijaga independensinya meskipun suatu saat nanti ada undang-undang yang mengatur pesantren.
Independensi santri juga tampak dalam bidang ekonomi. Santri yang umumnya bekerja di sektor non formal semakin leluasa bergerak dan menebarkan pengaruh nilai-nilai pesantren di masyarakat karena tidak ada kepentingan apapun yang menyertai. Dengan sangat leluasa mempengaruhi pola hidup masyarakat supaya agamis, berbudi pekerti serta menjadikan warga negara yang baik.
Zaman sudah berubah setelah reformasi 1997 bergulir, peran kaum santri semakin meluas, tidak hanya menjadi kiai dan mendirikan pesantren maupun madrasah. Santri sudah menguasai berbagai posisi strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada zaman orde baru kaum santri terutama yang mempunyai latar belakang keluarga Nahdlatul Ulama sangat sulit untuk menjadi aparatur sipil negara (asn) namun kini kesempatan itu ada.
Banyak juga santri berkiprah di dunia politik. Mereka juga ada yang menduduki jabatan penting di lembaga tinggi negara, mulai eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Akses belajar di perguruan tinggi juga sudah begitu mudah, para santri kini mempunyai beragam profesi yang linier dengan kompetensi dan passion-nya. Tak sedikit pula yang mengambil peran menjadi arsitektur, pengusaha, hakim, dosen, Polisi, TNI, komedian, penyanyi hingga programer, dan berbagai profesi yang dahulu seolah tidak mungkin dimiliki santri sebelum era reformasi.
Dengan beragamnya profesi yang dimiliki, mereka tetap dituntut untuk bisa menjaga independensinya di manapun dan kapanpun. Mereka berkewajiban menjaga karakter santri yakni sebagai muslim yang berakhlakul karimah.
Santri yang merdeka adalah santri yang tidak terpengaruh oleh godaan dan tidak bisa dipengaruhi oleh niat dan perbuatan buruk siapapun. Tak terombang-ambing oleh perubahan zaman. Tetap teguh pendirian sebagai santri untuk menebarkan Islam Rahmatal lil Alamin demi kemaslahatan umat.